Takhrij hadits


.


A.    Pengertian Takhriijul Hadits
1.      Pengertian Menurut Bahasa
Kata takhrij berasal dari kata kharraja,yukhariju, yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut Mahmud ath-Thahhan, takbr ialah “Berkumpullah dua hala yang bertentangandalam satu persoalan”
Menurut Muhammad Ahmad dan Mudzakir (2004) pengertian takhrijul hadits adalah:
Kata تخريج adalah bentuk masdar dari fi’il madi  خرج- يخرج-تخريجyang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempat.
      Pengertian takhrij menurut ahli hadits memiliki tiga macam pengertian, yaitu:
a.       Usaha mencari sanad hadits yang terdapat alam kitab hadits orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang teradpat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini juga disebut dengan istikhraj.
b.      Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan kedalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebut nama penyusunnya.
c.       Suatu usaha mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab, Misalnya:
1)      Takhrij Ahadisil kasysyaaf, karyanya Jalaludin al-Hanafi adalah kitab yang mengusahakan dan menerangkan derajat yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Kasysyaaf yang oleh pengarangnya tidak diterangkan derajat haditsnya, apakah sahih, hasan, atau lain.
2)      Al-Mugny al-Hamlil Asfal, karya Abdurrahim al-Iraqy adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam Ihya Ulumuddin karya al-ghazali.
Dari sudut pendekatankebahasaan ini, kata takhrij juga memiliki beberapa arti, yaitu pertama berarti berarti al-Istinbath (mengeluarkan dari sumbernya); kedua berarti at-Tadrib (latihan); dan ketiga berarti at-Taujih (pengarahan, penjelasan.
2.      Pengertian Secara Terminologiis
Para ulam ahli hadits dalam hal ini mengemukakan beberapa definisi seperti:
Menurut satu definisi, arti takhirij sama dengan al-ikhraj yaitu Ibraz al-Hadits li an-Nas bi Dzikr Mahrajih (mengungkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengeluarkan hadits).
Menurut definisi lainnya, kata takhrij berarti al-Hadits min Buthuni al-Kutub wa Riwayatuh (mengeluarkan sejumlah hadits dari kandungan kitab-kitabnya dan riwayatnya  kembali) pengertian ini di antaranya dikemukakan oleh as-Sakhawi. Ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadits tersebut kemudian meriwayatkannya atas namanya atau guru-gurunya, serta menyandarkan kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Menurut definisi lainnya, kata takhrij berarti Ad-Dalalah ala Mashadir al-Ashliyah wa Azzuhu ilaihi (petunjuk yang dijelaskan kepada sumber-sumber asal hadits) disini menjelaskan siapa-siapa yang menjadi perawi dan Mudawwin yang menyusun hadits tersebut dalam suatu kitab.
Menurut Mahmud ath-Thahhan, definisi yang disebut definisi ke tiga ini yang banyak dipakai dan terkenal pada kalangan ulama ahli hadits. Ia menyebutkan sebagai berikut:
في مصادره الاصيلته التي اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الد لاله على موضىع الحديث الحاجة
“petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber haditsnya, yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan martabat atau kedudukannya manakala diperlukan.
Berdasarkan definisi di atas, maka men-takhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan dan menulius hadits itu sendiri dengan rangkaian istilah sanad-nya dan menujukan pada karya-karya mereka seperti kata akhrajahu al-Baihaqi, akhrajahu al-Thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu Ahmad fi musnadih, dan biasanya disebutkan dengan sumber utamanya atau kitab-kitab induknya.
Kedua, memberikan penilaian kualitas hadits apakah hadits ini shahih atau tidak. Dan penilaian ini biasanya dilakukan apabila diperlukan, sebab dengan dengan diketahui dari mana haidts itu diperoleh sepintas bisa dapat dilihat sejauh mana kualitasnya.
B.     Tujuan dan Kegunaan Mentakhrij Hadits
Ilmu takhrij perlu dipelajari dan dikuasai sebab didalamnya membicarakan kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadits itu berasal. Dan didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadits.
Tujuan pokok mentakhrij hadits adalah untuk mengetahui sumber asal hadits yang ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan Maqbul dan Mardudnya.
Beberapa manfaat atau kegunaan dari mentakhrij hadits antara lain sebagai berikut:
a.  Dapat mengetahui keadaan hadits sebagai mana yang dikehendaki atau yang ingin dicapai pada tujuan pokok.
b.  Dapat mengetahui keadaan sanad hadits dan silsilahnya berapapun banyaknya, apakah sanad-sanadnya itu bersambung atau tidak.
c.  Dapat meningkatkan kualitas hadits dari dla’if menjadi hasan, karena ditemukannya syahid atau Mu’tabi.
d.  Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadap ke-shahihan suatu hadits.
e.  Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau yang dipakai.
f.  Dapat menetapkan Muttashil kepada hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan Adat at-Tahammul wa al-Ada’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwayatan hadits) dengan an’anah (kata-kata ‘an/dari)
g.  Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan kun-yah (julukan), laqab (gelar), atau nasab (keturunan) dengan nama yang jelas.
h.  Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dla’if, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
i.  Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits Maqbul (dapat diterima). Sebaliknya, tidak mengamalkan apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah Mardud (tertolak).

C.     Sejarah Munculnya Takhrij Hadits
Pada masa ulama Mutaakhirin kegiatan mentakhrij hadits muncul dan sangat diperlukan, kegiatan mentakhrij hadits muncul karena kebiasaan ulama Mutaqiddimin dalam mengutip hadits-haditsnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana hadits itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadits-hadits tersebut, sempai datanglah an_nawawi yang melakukan hal itu.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij hadits menurut Mahmud ath-thahhan ini ialah al-khatib al-Baghdadi (463 H). Yang kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa al-Khazimi (W. 584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab. Ia mentakhrij hadits kitab Fiqih Syafi’iyah karya Abu Ishaq asy-syirazi dan ulama yang lainnya seperti Abu al-Qasim al-Husaini.
Ada beberapa alasan kenapa diadakannya ilmu takhrij hadits dari sudut pandang yang berbeda, diantaranya:
1.   Politik
Pergolakan politik yang tejadi pada masa sahabat , setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu pada kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib mengakibatkan perpecahan umat islam kedalam beberapa kelompok: pertama. Golongan Syi’ah, pendukung Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan Khawarij, penentang Ali bin Abi Thalib. Ketiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung keduanya.
Dari pergolakan politik yang terjadi  berpengaruh dalam perkembangan hadits berikutnya, yaitu:
a.       Pengeruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadits, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan  pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
b.      Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits-hadits palsu (maudlu) untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.

2.   Ekonomi
Tahap selanjutnya hadits pun dijadikan sebagai rekayasa dalam proses perdagangan atau pun perekonomian secara keseluruhan. Karena ingin meraup keuntungan yang berlebihan, para saudagar mulai memalsukan hadits untuk kepentingan pribadi atau kelomponya.
Dengan berbuat demikian secara tidak langsung mereka telah menzalimi para pembelidan itu merupakan suatu tindakan jahat.
3.   Sosial
Dampak social yang terjadi dengan beredarnya hadits-hadits palsu, menyebabkan banyak pertentangan dikalangan umat yang pada akhirnya memicu konflik atau sampai menimbulkan peperangan.
Selain itu, dengan banyaknya hadits palsu yang beredar akan memberikan peluang pada kaum yang lebih kuat untuk bertindak semena-mena terhadap kaum lemah.
D.     Metodologi takhrij hadits
a.       Metodologi imam bukhari dalam menulis kitab sahih:
1. Dari segi kalimatnya, imam bukhari membandingkan dengan kalimat lain dan menganilisanya secara mendalam
2.  Dari segi ruhiyah, dengan melakukan istikharah
3.  Sanadnya bersambung
4.  Perawinya harus adil dan dhabit
5.  Haditsnya hadits syadz atau yang mu’al
6.  Pernah bertemu Nabi Muhammad SAW
b.      Metodologi imam muslim dalam menulis kitab shahih:
1.  Perawi yang adil dan dhabit
2. Perawi yang istiqamah, jujur, dan amanah
3. Hafidz dan tidak pelupa
4. Sanadnya marfu.
Secara umum metode dalam mentakhrij hadits ada 5 yaitu: pertama, dengan melihat awal kata hadits. kedua, melihat kata-kata dalam hadits,.ketiga, melihat dari perawinya tersebut. keempat, melihat tema (maudlu) hadits. Kelima, melihat jenis atau sifat hadits tersebut, secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:
Pertama : metode hadits dengan melihat awal kata hadits
Mentakhrij dengan kata awal ini harus dengan benar-benar memperhatikan awal hadits yang akan ditakhrij, dari huruf awal, huruf kedua dan seterusnya sampai satu kata. Setelah itu kita lihat kata berikutnya, dan demikian selanjutnya. Takhrij dengan metode ini mempunyai keistimewahan sangat mudah dan cepat untuk menemukan hadits yang ingin kita takhrij, karena sekedar mengetahui awal hadits adapun kelemahan metode ini adalah jika seorang keliru memahami awal kata hadits yang dimaksud maka dia tidak akan mendapatkan hadits yang akan ditakhrij.
Kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam mentakhrij dengan metode ini adalah sebagai berikut:
NO
NAMA KITAB
PENGARANG
1
الجامع الصغيرة من حديت البشير النذير
Imam Assuyuthi (w.911 H)
2
الفتح الكببر في ضم الزيادة الى الجامع الصغير
Imam Assuyuthi (w.911 H)
3
جمع الجوامع
Imam Assuyuthi (w.911 H)
4
اجامع الازهر من حديت النبي الانور
Imam Al-Munawi (w. 1031 H)
5
كنوز الحقالق في حديت خير الخلاىق
Imam Al-Munawi (w. 1031 H)
6
المقاصد الحمسة في بيان كتير من الاحاديت المشتهرة على الالسنة
Imam Al-Sakhawi (w. 902 H)
 
Kedua: Metode Takhrij dengan melihat lafal-lafal hadits
Metode ini tidak mengkhususkan harus mengetahui permulaan hadits yang ingin kita takhrij, dan dapat kita lakukan dari kata yang dikehendaki inilah keistimewahan metode ini dan metode ini memberikan keterangan yang lebih lengkap dari metode pertama seperti posisi hadits pada kitab bukhari hingga pada kitab dan bab serta nomornya. Adapun kekurangan pada metode ini adalah tidak disebutkannya sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dan juga tidak disebutkannya derajat hadits bersangkutan.

Kitab yang membantu dalam mentakhrij hadits pada metode ini:
Nama Kitab
Kode
Keterangan yang diberikan
Shahih Bukhari
خ
Nama kitab, dan nomor bab hadits tersebut
Shahih Muslim
م
Nma kitab, nomor haidts dalam kitab tersebut
Sunan Abu Daud
د
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Sunan Turmudzi
ت
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Sunan Nasa'i
ن
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Sunan Ibnu Majah
جه
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Sunan Darimi
دى
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Muwatha'
ط
Nama Kitab dan nomor bab hadits tersebut
Musnad Ahmad
حم
Nomor juz dan nomor halaman hadits tersebut

Ketiga: metode dengan melihat perawi A’la (sahabat) dalam hadits tersebut
Metode ini berbeda dengan metode yang diatas dimana metode diatas menggunakan matan, baik dari awal maupun lafal-lafalnya namun metode mentkahrij hadits ini menggunakan sanad hadits tersebut.dalam hal ini yang menjadi pijakannya adalah perawi yang paliang tinggi seperti sahabat-sahabat rasullah saw juga para tabi’in. dibawah nama-nama para sahabat ini dicantumkan hadits-hadits sahabat tersebut secara keseluruhan.
Keistimewahan metode ini adalah memberikan keterangan yang lengkap mengenai jalur sanad hadits yang ditakhrij secara keseluruhan sehingga memungkinkan untuk yang berbeda dan juga akan dapat mengetahui letak hadits hadits tersebut secara lengkap.
lalu kita mencari dengan bantuan dari tiga macam karya hadits:
1. Al-Masanid (Musnad-Musnad): dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut didalam kitab al-masanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2. Al-Ma’ajim (Mu’jam-Mu’jam): susunan hadits didalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3.  Kitab-Kitab Al-Athraf: kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seseorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
Keempat: metode takhrij dengan melihat maudlu (tema) hadits
Kita dapat mentakhrij hadits dengan cara melihat tema yang dibawa oleh hadits tersebut, setelah dapat kita tentukan tema hadits yang akan ditakhrij, kita merujuk pada kitab-kitab yang menggunakan tema ini.
Metode ini memiliki keistimewahan kemudahan dari sisi dimana seseorang tidak memerlukan kesahihan lafal hadits yang akan ditakhrijnya. Dan cara ini juga tidak memerlukan pengetahuan mengenai perawi hadits sebagaimana yang terdapat pada cara yang ketiga. Selain itu juga metode ini juga dapat mengembangkan kemampuan untuk memahami fiqhul hadits secara umum, paling tidak, mengetahui tema yang dibawa suatu  hadits tersebut.
Namun kelemahan dari metode ini adalah cara ini kadang menyulitkan kita dalam menetukan tema hadits yang bersangkutan, mengingat dalam sebuah hadits terkadang terdapat beberapa tema.  
No
Nama Kitab
Pengarang
1
كنر العمال في سنن الاقوال والافعال
Imam Al-Muttaqi Al-Hindi
2
مفتاح كنوز السنة
A.J Wensick
3
نصب الراية لتخريج احاديث الهداية
Imam Al-Zaila'i
4
التلخيص الحبير فى تخريج احاديث الرافعي الكبير
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani
5
الترغيب والنرهيب من الحديث الشريف
Imam Al-Mundzi
Kelima: metode dengan  melihat jenis atau sifat hadits tersebut
Metode ini berbeda dengan metode lainya karena metode ini dapat digunakan apabila metode yang lainnya tidak dapat menggunakan metode yang empat metode diatas. Metode ini merupakan metode dengan melihat jenis atau sifat hadits yang akan ditakhrij.
Cara ini cukup mudah apabila kita telah mengetahui sifat hadits yang akan kita takhrij, dalam mentakrij dengan menggunakan metode ini mengunakan kasifikasi sebagai berikut:
No
Klasifikasi
Nama Kitab
Pengarang
1
Hadits Mutawatir
الازهار المتناثرة في الاحاديث المتواترة
Imam Assuyuthi
2
Hadits Qudsi
الاحاديث القدسية
Tim Majlis A'la Mesir
3
Hadits Masyhur
كشف الخفا ومزيل الالباس عما اشتهر من الاحاديث علي السنة الناس
Imam Al-Ajluni
4
Hadits Mursal
المراسيل
Imam Abu Daud
5
Hadits Maudhu,
تىزية الشريعة المرفوعة عن الاخبار الشنيعة الموضوعة
Ibnu Iraq

Namun jika tidak mengetahui sifat dan jenis hadits maka tidak mungkin untuk mentakhrij dengan metode ini.
Inilah cara atau metode-metode yang digunakan para ulama dalam mentakhri hadits baik hadits mutawatir, qudsi, masyhur, mursal dan maudlu, dengan metode ii semoga kita dapat mengetahui kedzaliman ilmu sunnah yang demikian luas.
Kitab-kitab yang digunakan dalam mentakhrij hadits adalah sebagai berikut:
·         Takhrij Ahadits Tafsir al-Kasyaf, al-Zaila’I (762 H)
·         Takhrij Ahadits al-Baidhawi, Abd al-Rauf al-Manawi, Muhammad Hammad (1175).
·         Takhrij Ahadits al-Syarh Ma’ani al-Atsar, al-Thahawi.
·         Takhrij Ahadits al-Adzkar; al-Asqalani.
·         Talkhis al-Hadir, al-Asqalani.
·         Takhrij Ahadits al-Mishab wa al-Misykah.
·         Al-Mughni ‘an Naml al-Asfar, al-Irawi (806 H).
·         Manahil al-Safa fi Takhrij Ahadits Syifa; al-Suyuthi.
·         Takhrij Ahadits Minhaj al-Ushul; al Subki.
·         Takhrij Ahadits Mukhtashar; Ibn al-Mulaqqin.
·         Takhrij Ahadits al-Hidayah fi Fiqh al-Hanafiyah; al-Zila’i.
·         Al-Dirayah fi Muntakhabi Takhrij Ahadits al-Hidayyah; Al-Asqalani.
·         Takhrij Ahadits al-Ihya; al-Iraqi.
·         Al-Maqasid al-Hasanah; al-Sakhawi.
·         Tashil al-Subul ila Kasyfi al-Libas, al-Khalili (1507 H).
·         Kasyfu al-Khafa wa Muzil al-Albas; al-Jaluni (1162 H).
·         Riyadh al-Shalihin; al-Nawawi.
·         Bulugh al-Maram; al-Asqalani.
·         Al-Lu’lu’ wa al-marjan; Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Al-Arba’in; al-Nawawi.

DAFTAR PUSTAKA
Maslani. Ratu Suntiah. 2010. Ikhtisal Ulumul Hadits. Sega Arsy. Bandung.
Solahudin, Muhammad. 2009. Ulumum Hadits. Pustaka Setia. Bandung
Hasbi, Asy-Shiddieqy. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. PT Bulan Bintang. Jakarta.
Masyfuk, Zuhdi. 1985. Pengantar Ilmu Hadits. Bina Ilmu. Surabaya.
Syamsudin. 2004. Pengantar ilmu hadits. Pustaka setia. Bandung
Azami, Muhammad Mustafa. 1992. Metodologi kritik hadits. Pustaka hidayah. Jakarta.
Yusuf, Ahmad, dkk. Metode takhrij hadits. Bandung.
 

One Response to “Takhrij hadits”

  1. hatur nuhun pisan, asa dibatosan

Your Reply