TEORI-TEORI HUKUM


.

A. LATAR BELAKANG
Sejak zaman Yunani dan Romawi hingga saat ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai teori tentang hukum yang lahir pada setiap babak perjalanan sejarah hukum, Pada umumnya, suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya.
Yang berarti bahwa teori-teori tentang hukum tidak ada yang berlaku sepanjang masa. Ada masa gemilang dan ada masa merosot. Masa gemilang dicapai jika kadar unsur-unsur kekuatan (strenghtpoints) jauh melebihi kadar unsur kelemahan (weak points).
Di lain sisi, pada saat kadar weak points meningkat, saat itulah kemerosotan teori yang bersangkutan mulai tampak, dan berangsur-angsur menghilang. Secara tidak kaku (relative) upaya untuk memahami setiap teori tersebut dilakukan melalui klasifikasi para pakar hukum yang mempunyai pemikiran serupa, ke dalam satu aliran atau mazhab tertentu. Di sini kami akan membahas beberapa teori sebagai berikut:
(1)Teori pada zaman Yunani dan Romawi
(2)Teori Alam
(3)Positifisme dan Utilitalisme
(4)Teori Hukum Murni
B. RUMUSAN MASALAH
1. Kapan kemerosotan Teori terjadi?
2.Kapan munculnya teori-teori hukum?
3.Siapa saja ilmuan yang berperan dalam pengembangan teori hukum?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
1.Memperdalam wawasan mahasiswa dalam bidang hukum
2.Menelusuri perkembangan teori hukum
3.Menjelaskan pembagian teori menurut para filosof kelasik

D. ARTI DAN FUNGSI TEORI HUKUM
Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum.
Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi
E. TEORI-TEORI YUNANI DAN ROMAWI (KELASIK)
Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis. karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni lewat seleksi alam.
Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam diri manusia, lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di duian riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.
1. Teori Filsuf Ionia
Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi. Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah) dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam.
Teori ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi ‘tertib hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang hanya tersusun dari benda-benda materi (manusia juga dianggap benda materi). Karena bangunan benda materi-materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai panduan kehidupan.
Oleh karena itu praktis alam dikuasai oleh ‘logika’ dasarnya, yakni kekuatan. dalam logika kekuatan itulah, manusia sebagai bagian dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari. Di sinilah hukum survive berlaku, yakni ada atau lenyap. Terjadilah seleksi alam. Siapa yang kuat dan cerdik, ia survive. Dan siapa yang mampu survive, dia berkesempatan menjadi sumber hukum. Logislah, bila dalam konteks ini, hukum menjadi ‘rumus-rumus’ orang kuat untuk tetap survive. Ya, hukum menjadi tatanan kekuatan (orang kuat) untuk tetap survive.
2. Teori Kaum Sofis
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada manusia yang memiliki logos itu.
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se. Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Ya kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang-orang waras. Nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos ini menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam bentuk kebiasaan, dan juga dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan UU (nomoi) sangatlah penting untuk menata polis.
3. Teori Socrates
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam kkonteks pemikiran etisnya eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif.
Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.
Eudaimonia (kesempurnaan jiwa) menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates. Demi mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir yang menjadi saripati “filsafat kebijaksanaan” Socrates, dua diantaranya relevan diungkapkan di sini. Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran, merupakan keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir kedua adalah kebajikan yang tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini, untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya. Butir kedua ini adalah menyangkut integritas manusia.
4. Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Sokrates, Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal Negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato tersebut merupakan kerajaan orang yang paling bijak dan menyerupai dewa.
Secara riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian:
a.Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan,
b.Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum,
c.Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum.
d.Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna,
e.Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara mendidik itu adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.
5. Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung lard an tak terkendai karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama, Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua digunakan akta phronesis yang dalam terminologi Skolatik abad pertengahan disebut prudentia (prudence). Moral sendiri menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Moral memandu pada sikap moderat, sikap yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan purata kencana.
Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun teorinya tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang ditandai dengan hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan pribadi tapi juga tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini tampak kembali apa yang menjadi dasar teori Aristoteles, yakni perasaan ‘sosial-etis’. Tidak mengherankan jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya).
6. Teori Epicurus
Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu, di mana semua peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa.
Dari Epicurianisme inilah, hukum (sebagai aturan public), mesti dipandang sebagai tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Undang-undang diperlukan demi mencegah terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik kepentingan individual yang senantiasa muncul. Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram.
F. TEORI HUKUM ALAM
Adapun teori hukum alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam hukum, yaitu:
1.Hukum yang berlaku kerena penetapan kekuasaan Negara.
2.Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia mana yang baik buruknya hukum yang “Asli”.
Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang “Keaslian” adalah tidak sama, sehingga seakan-akan tidak ada hukum alam yang “Asli”. Namun haruslah diakui, bahwa keaslian suatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat kekecualian dalam suatu hal itulah ada.
Bukanlah syarat mutlak bahwa Hukum Alam itu berlaku di zaman apa saja dan dimana-mana, tetapi lazinya yaitu dalam keadaan biasa, hukum alam itu memang dipadati di mana saja dan pada zaman apa saja, berhhubung dengan sifat keasliannya yang memang selaras dengan kodrat alam.
Prof. Subekti, S.H. mengatakan, bahwa menurut kodrat alam asalnya tangan kanan adalah lebih kuat dari tangan kiri, tetapi ada juga orang yang tangan kirinya lebih kuat dari tangan kanannya.
Berhubungan dengan itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu adalah “hukum yang oleh orang-orang berfikir sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam”.
Thomas Van Aquino (1225-1274) berpendapat, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “ Undang-Undang Abadi” (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya.
Lex Eterna ini adalah kehendak dan pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan-perundangan yang langsung berasal dari “Undang-undang Abadi” itu dan yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan “Hukum Alam” (Lex Naturalis).
Hukum Alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:
a.Berbuat baik dan jauhi perbuatan jahat.
b.Bertindaklah menurut pikiran yang sehat.
c.Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.
Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal pengecualian, berlaku di mana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman.
Hugo de Groot (abad 17) seorang pengajar hukum alam dalam bukunya “De jure bellie ac pacis” (Tentang hukum perang dan damai) berpendapat bahwa, sumber hukum alam ialah pikiran atau akal manusia.
Hukum Alam menurut Hugo de Groot, ialah pertimbangan pikiran yang menunjukan mana yang benar dan mana yang tidak banar. Hukum alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran manusia yang sehat mengenai persoalan apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.
G. POSITIVISME DAN UTILITARIANISME
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :
1.Hukum adalah perintah.
2.Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3.Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4.Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5.Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini. Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.
Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian.
Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.
H. TEORI HUKUM MURNI
Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :
1.Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2.Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3.Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4.Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.
5.Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
6.Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
I. SEJARAH HUKUM
Sejarah hukum adalah salah satu bidang study hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal-usul system hukum dalama suatu masyarakat tertentu, dan memeperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah hukum ini terutama berkait dengan bangkitnya suatu pemikirandalam hukum yang dipelopori oleh Savigny (1779-1861).
Dalam study sejarah hukum ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing system hukum. Apabila dikatakan bahwa system hukum itu tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang terus menerus antara system yang sekarang dengan yang lalu. Apabila dapat diterima bahwa hukum sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa yang lampau (Soedjono Dirdjosisworo 1983:58).
Peranan dan fungsi sejarah hukum yaitu:
Sebagaimana lazimnya moral yang terdapat pada pelajaran sejarah, maka study mengenai sejarah hukum ini akan menghasilkan keuntungan-keuntungan yang sama seperti orang yang memepelajari sejarah umu. Salah satu dari keuntungan tersebut adalah bahwa pengetahuan kita mengenai suatu system atau lembaga atau pengaturan hukum tertentu menjadi lebih mendalam dan diperkaya. Kekeliruan-kekeliruan baik dalam pemahaman, maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu diharapkan dapat dicegah dengan cara mendapatkan keuntungan tersebut.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sejarah hukum merupakan salah satu bidang study hukum yang memepejari perkembangan dan asal-usul system hukum, mengungkapkan fakta dan membandingkannya antara hukum yang lampau dengan hukum yang sekarang atau hukum yang akan dating. Dalam peranannya sejarah hukum juga berusaha mengenali dan memehami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, factor-faktor yang menyebabkan dan sebagainya dan memeberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
J. SOSIOLOGI HUKUM
Munculnya sosiologi dalam Ilmu Hukum dikarenakan ingin melihat hakikat hukum yang tidak terbatas pada teks normatif yang abstrak. Tetapi lebih jauh dari itu, hukum ingin dilihat dalam segenap kompleksitasnya dalam interaksinya dengan alam realitas empirik sebagai medan tumbuh kembangnya hukum tersebut. Apakah bunyi aturan hukum benar-benar berfungsi atau tidak berfungsi dalam realitas empirik. Hal tersebut tidak akan diketahui jika hanya melakukan pengamatan terhadap ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi dan formal. Untuk itu dibutuhkan penggunaan sosiologi dalam Ilmu Hukum. Terdapat beberapa faktor yang mendorong perkembangan minat terhadap sosiologi hukum, yaitu: perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan-hubungan sosial (termasuk sudah perubahan fisik dan teknologis)’ ketidaksesuaian antara ideal dan kenyataan; dan sehubungan dengan kedua hal tersebut adalah terjadinya konflik-konflik nilai-nilai,konflik kepentingan dan sebagainya di dalam masyarakat.
Memang tidak dapat dipungkiri ada pandangan, baik dari sosiolog mau pun sarjana hukum sendiri, bahwa Ilmu Hukum termasuk kelompok Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi dalam penerapannya penggunaan metode penelitian ilmu social kurang dapat diandalkan untuk dapat menciptakan suatu analisis hukum, doktrin hukum, atau suatu produk hukum (rancangan undang-undang, misalnya) yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum.
Bernard Arief Sidharta berusaha membuktikan sifat keilmuan dari Ilmu Hukum dengan pokok-pokok pemikirannya menjelang akhir abad 20. Menurut beliau Ilmu Hukum itu juga seperti halnya ilmu lain, memiliki landasan keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap ilmu. Ilmu Hukum membangun konsep dan obyeknya yang dapat dieksplorasi oleh siapa pun. Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata hukum positif, yakni sistem aturan hukum yang ada pada suatu waktu tertentu dan berlaku dalam suatu wilayah tertentu. Lebih lanjut diuraikan bahwa Ilmu Hukum termasuk ke dalam jajaran Kelompok Ilmu Praktis-Normologis. Ilmu Praktis merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi, yang produk akhirnya berupa penyelesaian yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggungjawabkan. Meski obyek telaahnya adalah tata hukum positif, dalam perkembangannya, Ilmu Hukum harus terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif.
Memasuki abad 21, muncul karya yang berbeda dengan pendapat Sidharta tersebut dalam mengkonstatasi keberadaan Ilmu Hukum. Bernard L. Tanya seorang pemikir hukum menyatakan bahwa Ilmu Hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab, jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertibkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat.
Untuk melihat hakikat hukum dengan segala kompleksitasnya tersebut, kemudian Bernard mengatakan bahwa Ilmu Hukum merupakan bagian dari Ilmu Humaniora. Sebagai bagian dari Ilmu Humaniora, maka Ilmu Hukum mempelajari hukum dengan titik tolak dari manusia sebagai subyeknya.25 Meletakkan Ilmu Hukum sebagai bagian dari Ilmu Humaniora tersebut jelas sangat berbeda dengan pendapat Sidharta di atas yang menyatakan bahwa Ilmu Hukum berada dalam tataran Ilmu Praktikal-Normologik.
Dengan objek telaah (ontologi) yang berbeda tersebut, Ilmu Hukum Dogmatik objek telaahnya adalah semata-mata pada teks-teks otoritatif.
Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatis objek telaahnya adalah hukum dengan sekalian keterkaitannya dengan realitas-empirik. Hal ini berakibat kepada model penelaahan (epistemologi) yang berbeda pula. Metode penelitian dalam Ilmu Hukum Dogmatik menggunakan metode penelitian hukum beserta perangkatperangkat penafsirannya yang ‘murni’ hukum dogmatik. Sedangkan Ilmu Hukum Non-dogmatik (empiris) menggunakan perangkat metode penelitian ‘baru’, yaitu ‘tidak alergi meminjam’ metode yang dikembangkan ilmu lain.
Ilmu Hukum Dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peratuiran. Oleh karenanya, Ilmu Hukum Dogmatik seperti ini juga lazim disebut dengan analytical jurisprudence, yang dalam praktiknya sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri.
Kebalikan dari itu, Ilmu Hukum Non-dogmatik tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia

One Response to “TEORI-TEORI HUKUM”

  1. Aluminum R2-6 3-8-5-4-3-4-4 | TiMetal Arts
    Aluminum does titanium set off metal detectors R2-6 3-8-5-4-3-4-4. $5.95 · Open-Source. titanium camping cookware Manufacturer: titanium joes Aluminum tungsten titanium R2-6 3-8-5-4-4, $15.95 titanium dab nail · Open-Source. Manufacturer: Aluminum R2-6 3-8-5-4-4-4-4

Your Reply